TRIBUNTRAVEL.COM - Mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM) saat ini terasa mudah dibandingkan tahun 1950-an.
Untuk mendapatkan SIM A (sedan dan sejenisnya) dan C (sepeda motor) harus melalui beberapa tahap ujian, yakni teori dan praktik.
Ujian teori berupa pengenalan terhadap hampir semua rambu lalin.
Semua peserta, baik yang remaja maupun yang sudah berumur, duduk di satu ruangan mengerjakan ujian teori sambil ditunggui petugas Polantas.
Hasilnya baru diketahui esok hari. Yang gugur harus mengulang sampai lulus.
Setelah lulus baru ujian praktik.
Sementara dulu, Polda Metro Jaya dikenal sebagai Hopbiro (hoofd bureau), terletak di pinggir Lapangan Monas.
Saat ujian praktik, sekitar 30 mobil bererot dari Hopbiro.
Seorang atau lebih penguji, terdiri atas perwira dan bintara, berada di mobil terdepan.
Setelah mendapat kepastian pengemudi yang ditumpanginya lulus, penguji pindah mobil di belakang.
Begitu seterusnya sampai mobil terakhir diuji.
Ujian praktik lainnya dilakukan di halaman parkir Hopbiro, dengan materi seperti yang dilakukan saat ini.
Bagi yang tidak membawa mobil sendiri, ada yang rela meminjamkan atau menyewakan mobilnya.
Dalam perkembangannya, sewa-menyewa mobil untuk ujian praktik akhirnya tumbuh sebagai bisnis tersendiri.
Hal yang sama berlaku dengan pemohon SIM C.
Penguji membonceng pemohon SIM untuk menentukan apakah yang bersangkutan lulus atau tidak dalam ujian praktik.
Ujian praktik di jalan raya mulai ditinggalkan saat Polda Metro Jaya pindah ke kawasan Semanggi.
Jalan-jalan di Jakarta sudah tidak mampu menampung lagi iring-iringan puluhan mobil sekaligus.
Namun untuk ujian di halaman Polda Metro masih berlangsung.
SIM tahun 1950-an bentuknya seperti buku paspor dengan lembar halaman untuk mencatat pelanggaran yang pernah dilakukan pemiliknya. (Wirasmo – Intisari Desember 2007)
Artikel ini telah tayang di intisari.grid.id dengan judul SIM Zaman Dulu Mirip Paspor, Ada Halaman untuk Mencatat Pelanggaran