TRIBUNTRAVEL.COM - Korea Utara memiliki pemandu sorak untuk meramaikan acara-acara olahraga yang disebut sebagai Army of Beauties.
Mereka terakhir diperlihatkan pada olimpiade Winter Olympic ke-23 di Korea Selatan pada 9-25 Februari 2018.
Army of Beauties tampil dengan nyanyian dan gerakan-gerakan yang tercipta secara kompak.
Namun di balik riuh keceriaan yang mereka tontonkan, menyimpan cerita tersendiri yang kelam.
Dilansir dari New York Post, Jumat (23/2/2018), tidak hanya sebagai pemandu sorak, mereka sekaligus dijadikan budak seks.
Lee So Yeon (42), seorang pembelot (dulu: musisi militer) yang melarikan diri dari Korea Utara pada 2008 memberikan beberapa kesaksian.
Dia mengungkapkan, selama perjalanan ke Olimpiade, mereka pasti dipaksa melakukan hubungan seksual dengan pemimpin partai.
"Mereka pergi ke acara pesta Politbiro pusat, dan harus tidur dengan orang-orang di sana, bahkan jika mereka tidak menginginkannya," kata Yeon.
"Pelanggaran hak asasi manusia semacam itu terjadi, di mana wanita harus mengikuti segala yang diperintahkan," tambahnya.
Para pemandu sorak yang cantik itu tunduk pada sistem ekstrem.
Mereka dipantau 24 jam sehari, bahkan saat mereka makan dan menggunakan kamar kecil.
Pada tahun 2010, pembelot lainnya, Mi-hyang mengatakan kepada Yeon, dia baru berusia 15 tahun saat tentara berseragam hijau menyerbu kelasnya dan memilihnya menjadi budak seks.
Dia harus melayani Kim Jong Il, ayah dari Kim Jong-un, yang memimpin dari 1994 hingga kematiannya pada 2011.
Dia dilarang menjumpai keluarganya dan dipaksa untuk menghabiskan 10 tahun waktunya melayani Kim Jong Il.
Ketika para cheerleader "pensiun," mereka sering dinikahkan dengan penjaga elite.
Bahkan, kadang-kadang mereka dibayar untuk tetap diam tentang rahasia kotor rezim tersebut.
Berita ini sudah dimuat di Intisari.grid.id dengan judul Sisi Kelam Kehidupan Pemandu Sorak Korea Utara di Bawah Rezim Otoriter, Sangat Tragis
Yuk subscribe channel YouTube TribunTravel.com