TRIBUNTRAVEL.COM - Kota ini disebut dengan 'Kota Janda'.
Dimana ada ribuna wanita tanpa suami telah dibuang oleh keluarga mereka dan ditinggalkan sendirian di dunia.
Kota misterius ini selama berabad-abad telah menarik peharian.
Sebab di sana hanya dihuni ribuan wanita janda yang telah diusir oleh keluarga mereka.
Janda-janda ini dianggap terkutuk setelah kematian suami mereka.
Dilansir TribunTravel.com dari news.com.au, kota janda ini terletak di Vrindavan, sekitar 135km selatan ibukota India New Delhi, India.
Diperkirakan ada 15.000 janda tinggal di sana saat ini.
Mereka telah dibuang saudaranya dan dianggap memiliki nasib buruk kadang keluarganya juga ketakukan mereka akan mewarisi harta benda.
Kebanyakan janda-janda di sana ditemukan di jalan setelah diturunkan keluarganya.
Yang lain ada pula yang datang atas kemauannya sendiri.
Turun dari bus atau kereta api dengan jarak yang tak dekat.
Tujuannya beragam, ada yang ingin ibadah, ada pula pertemanan.
Namun pertahanan untuk keberlangsungan hidup cukup susah.
Bindeshwar Pathak, pendiri organisasi hak asasi manusia Sulabh International, yang bekerja dengan para janda, mengatakan "rasa malu" janda masih sangat kuat di beberapa tempat di mana mereka diharapkan untuk menyerahkan semua kesenangan.
Pathak mengatakan, mereka tidak diizinkan untuk merayakan atau menghadiri perkawinan dan mereka seharusnya hidup dalam pengasingan, mencukur kepala dan berpakaian putih.
"Ini pada dasarnya adalah bentuk penjara seumur hidup bagi para janda ini," katanya.
Sulabh, yang telah melakukan kerja sosial di India di bidang sanitasi dan bidang lainnya, ditugaskan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2012 untuk bekerja dengan wanita tersebut setelah laporan mayat janda dimasukkan ke dalam karung dan dilemparkan ke sungai.
Saat ini organisasi tersebut telah menyediakan uang saku bulanan sebesar 2000 rupee (Rp 450 ribu) per bulan kepada 700 janda.
Mereka juga diajarkan keterampilan mengajar sejak saat itu.
Tapi hanya sebagian kecil dari janda yang tinggal di Vrindavan.
Sebagian besar perempuan dipaksa tinggal di tempat penampungan, dengan kamar bersama dan terpal pinggir jalan karena sulit menemukan akomodasi yang menuju desa tersebut.
Para janda tidak diterima di masyarakat, mereka berkumpul di sekitar pusat spiritual, di mana mereka bisa mengikis hidup yang kecil dan mengembangkan perselingkuhan dengan wanita lain.
Janda-janda ini biasanya berumut lanjut.
Mereka bersama-sama berdoa dan bernyanyi selama berjam-jam untuk mendapatkan makanan dan tikar tidur.
Mereka biasanya terlihat masuk dan keluar kuil, berpakaian putih dan sering mengemis untuk makan.
Uangnya juga kadang mereka gunakan untuk membayar ongkos akomodasi sewaan.
Psikolog Delhi, Vasantha Patri, yang telah menulis tentang keadaan para janda Vrindavan, menggambarkan mereka bagai "hidup secara fisik tapi mati secara sosial".
Pra janda dilarang berpartisipasi dalam setiap pesta yang penuh warna.
Namun selama dua hari festival, para peserta melempar serbuk berwarna dan cairan ke orang lain, menciptakan suasana yang semarak.
Setiap warna menandakan sesuatu yang berbeda.
Merah berarti cinta dan kesuburan; biru adalah warna Krishna, dewa Hindu; Kuning adalah warna kunyit, dan hijau melambangkan musim semi dan awal yang baru.
Sekitar 1000 janda yang disponsori oleh organisasi non-pemerintah beralih ke acara ini setiap tahunnya.
Pada tahun 2012, Mahkamah Agung pengutus agar dibentuk sebuah komite khusus untuk mengidentifikasi janda di Vrindavan.
Pengadilan juga memerintahkan agar data lengkap para janda dikumpulkan untuk termasuk alasan mereka meninggalkan rumah dan sumber pendapatannya.
Rencana ini merinci kebutuhan untuk memperbaiki infrastruktur, membuat database para janda dengan menghubungkannya dengan kartu identitas mereka yang dikeluarkan untuk semua penduduk India, dan menasihati keluarga untuk membawa pulang janda yang mereka buang.
Dengan ini, harapannya para wanita harus berhak mendapatkan bantuan hukum dan medis gratis.
(TribunTravel.com, Tertia Lusiana)
Tonton juga: