Laporan Wartawan TribunTravel.com, Rizkianingtyas Tiarasari
TRIBUNTRAVEL.COM - Akhir-akhir ini, foto selfie menjadi bukti dari eksistensi manusia di dunia maya.
Banyak hal yang dilakukan demi mendapatkan foto selfie yang dianggap keren, satu di antaranya adalah foto selfie bersama hewan liar.
Banyak jenis binatang yang sering diajak berfoto, seperti monyet, harimau, hingga jerapah.
Namun, apa yang dilakukan oleh satu di antara pelaku industri pariwisata di Peru ini tak layak dijadikan contoh.
Dilansir TribunTravel.com dari laman thesun.co.uk, sebuah video menunjukkan bagaimana seekor kukang yang ketakutan direnggut paksa dari tempat hidupnya hanya untuk dijadikan sebuah daya tarik wisata.
Kukang diambil dengan cara menebang pohon yang ditempatinya, sehingga hewan malang ini terjatuh dari ketinggian sekitar 100 kaki atau 30 meter.
Tentu rekaman ini menunjukkan betapa kejamnya praktik tersebut.
Video ini merekam seekor kukang diculik di kawasan dekat Iquitos, sebuah kota di Peru yang merupakan pintu masuk menuju pedesaan suku-suku Amazon bagian utara.
Kukang tersebut dijual untuk dijadikan obyek foto selfie bagi para wisatawan.
Hewan itu kemudian dijual di pasar Belén di pinggiran Iquitos hanya dengan harga 13 dolar AS atau sekitar Rp 176 ribu.
Sloth atau kukang yang ditangkap oleh penebang liar itu dijual di pasar perdagangan hewan peliharaan.
Atau dijadikan sebagai satu daya tarik wisata hiburan eksotis, di mana hewan tersebut dipaksa untuk berfoto dengan turis.
Video tersebut dirilis oleh World Animal Protection untuk menyoroti masalah kegemaran turis berfoto dengan hewan liar.
Perdagangan hewan liar seperti kukang, anakonda, dan buaya caiman semakin intens seiring meningkatnya permintaan untuk berfoto selfie dengan satwa liar.
Bahkan, terjadi peningkatan jenis foto tersebut sebanyak 292 persen di Instagram antara 2014 dan 2017.
40 persen dari gambar ini menunjukkan foto selfie satwa liar yang buruk, seperti seseorang yang memeluk, memegang, atau berinteraksi dengan binatang liar dengan cara yang tidak tepat.
Hewan-hewan ini ditangkap dari alam liar - seringkali secara ilegal - dan digunakan oleh operator tur yang tidak bertanggung jawab.
Pihak tak bertanggung jawab tersebut mengeksploitasi satwa liar untuk menghibur dan memberi kesempatan foto bagi wisatawan.
Steve McIvor, CEO dari World Animal Protection, mengatakan, "Rekaman ini sangat menyedihkan."
"Kami tahu ada banyak hewan yang dicuri dari alam liar untuk digunakan sebagai alat peraga wisata, mereka dipelihara dalam kondisi kotor, ditempatkan dalam ruang yang sempit, atau berulang kali diberi umpan dengan makanan."
"Hal ini menyebabkan trauma psikologis parah bagi hewan tersebut."
"Sangat konyol melihat hal ini memicu kegilaan dari tren berfoto selfie dengan satwa liar yang telah mendunia."
Dia melanjutkan, "Praktik industri ini didorong oleh wisatawan, banyak di antaranya yang menyukai hewan, namun tidak menyadari perlakuan buruk dan kondisi mengerikan yang dialami sejumlah hewan liar untuk mendapatkan foto semacam itu."
Diperkirakan 80 persen ekspor kayu Peru berasal dari penebangan liar.
Dan banyak di antara penebang kayu ilegal itu berusaha mendapatkan uang tambahan dengan cara menangkapi dan menjual hewan liar, termasuk kukang, yang digunakan untuk hiburan para turis.
Kukang yang bergerak dengan kaki tiga jarinya adalah penghuni pohon yang lamban dan mudah ditangkap oleh penebang kayu.
Seekor kukang jantan biasanya tetap berada di pohon yang sama selama hidupnya, tapi kukang betina akan terus berpindah setelah melahirkan, lalu meninggalkan pohon untuk ditinggali oleh anak keturunannya.
Untuk mengatasi masalah ini, World Animal Protection meminta pemerintah yang relevan untuk menegakkan hukum.
Serta memastikan perusahaan-perusahaan travel dan individu yang memanfaatkan hewan liar untuk industri pariwisata di Amazon mematuhi undang-undang yang ada.
Lembaga tersebut juga telah meluncurkan petunjuk berfoto selfie dengan hewan liar atau Wildlife Selfie Code bagi wisatawan.
Hal ini bertujuan untuk mendidik wisatawan agar belajar mengambil foto dengan binatang liar tanpa memicu munculnya praktik industri hiburan satwa yang kejam.