Laporan Wartawan TribunTravel.com, Ambar Purwaningrum
TRIBUNTRAVEL.COM - Bagi traveler yang berkunjung ke Jogja, wajib hukumnya mencoba gudeg.
Kuliner yang satu ini menjadi tak cuma menawarkan rasa yang lezat namun juga sudah menjadi ikon dari kota pelajar.
Proses pembuatan gudeg terbilang cukup lama.
Terbuat dari nangka muda yang direbus dengan gula kelapa dan santan selama beberapa jam.
Rasanya yang manis sedikit gurih cukup mudah diterima lidah.
Gudeg biasanya dimakan bersama dengan nasi putih, suwiran ayam, telur rebus, tempe, tahu dan sambal goreng krecek.
Meski berasal dari Jogja, namun gudeg juga ditemukan di Solo dan Jawa Timur, namun dengan variasi rasa yang berbeda.
Bagi traveler yang sangat menyukai makanan khas ini, tak akan afdol rasanya bila belum mendengar tentang kisah masa lalu dari gudeg.
Dikutip TribunTravel.com dari berbagai sumber, ada dua versi sejarah tentang gudeg.
Versi pertama menyebut jika gudeg pertama kali ada pada masa Kerajaan Mataram Islam sekitar tahun 1500-an.
Saat itu, kerajaan Mataram melakukan pembangunan di alas Mentaok.
Di sana ada banyak pohon yang ditebang, termasuk nangka, kelapa, dan melinjo.
Karena banyaknya buah nangka muda, kelapa, dan daun melinjo, membuat para pekerja menjadikannya sebagai bahan masakan.
Agar bisa dimakan bersama-sama, nangka muda dimasak dalam jumlah yang banyak.

Mereka mengaduk nangka dengan alat yang menyerupai dayung perahu yang disebut hangudeg.
Sebutan inilah yang menjadi asal muasal gudeg.
Versi kedua menyebut jika gudeg pertama kali ada pada 1600 an dan tercatat dalam karya sastra Jawa Serat Centhini.
Dikisahkan Raden Mas Cebolang tengah singgah di padepokan Pangeran Tembayat di Klaten.
Di sana pangeran menjamu tamunya dengan beragam makanan termasuk gudeg.
Dikatakan jika gudeg sejatinya merupakan makanan ala rakyat bukan kerajaan.
Makanan gudeg sendiri awalnya tak setenar sekarang, bahkan pada abad 19 belum banyak orang yang mau menjualnya.
Alasannya karena proses pembuatan gudeg yang lama.
Namun seiring waktu, kuliner ini semakin disukai, dan kini menjadi ikon dari Jogja.