Laporan Wartawan TribunTravel.com, Ambar Purwaningrum
TRIBUNTRAVEL.COM - Sekilas tak ada yang aneh pada kota ini.
Traveler bisa melihat puluhan rumah yang berdiri menyebar di perbukitan.
Pemandangannya yang menakjubkan membuat kita tak sadar tentang kengerian yang tersimpan di dalamnya.
Legenda setempat menyebut siapa pun yang masuk ke kota ini dijamin tak akan pulang dengan selamat.
Dilansir TribunTravel.com dari laman amusingplanet.com, Dargavs dikenal sebagai kota mati.

Lokasinya berada di kawasan Republik of North Ossetia-Alania, Rusia.
Bukan tanpa alasan mengapa Dargavs dinamai kota mati.

Dargavs sebenarnya merupakan area pekuburan kuno.
Nama kota mati secara harafiah arti dari Dargavs dalam bahasa Yunani Kuno.

Dargavs menjadi sangat mengesankan karena sejumlah besar makam kuno dan pemandangan hijau yang menakjubkan.
Pemandangan ini terletak di lereng bukit menghadap ke Lembah Fiagdon dengan beberapa tebing yang menjulang ke atas.
Ketinggian Dargavs sekitar 4.000 meter diatas permukaan laut.

Total ada 100 batu kuno di sini.
Uniknya mayat yang ada di Dargavs dikubur bersama dengan pakaian dan barang-barang berharga oleh keluarga yang mereka cintai.
Makam sendiri berbentuk gubuk dengan atap melengking.
Bentuknya menyerupai arsitektur khas Nakh di masa Yunani Kuno.

Jika dilihat lebih dekat, bangunan itu tak memiliki pintu atau jendela, melainkan sebuah lubang kecil berbentuk persegi.
Lubang itulah yang digunakan untuk memasukkan mayat.
Penyebutan kota mati pertama kali tercetus pada awal abad 14.

Mereka menggunakan tempat ini sebagai area pemakaman karena lokasinya yang dinilai cukup strategis.
Sayang, di balik keberadaan Dargavs, banyak legenda dan mitos yang mengelilinginya.
Satunya cukup menakutkan, dimana legenda itu menyebut jika siapapun yang berani melewati atau masuk ke area ini tak akan pernah keluar dalam keadaan hidup.

Alasan ini lah yang membuat sampai sekarang hampir tak ada wisatawan yang berani mendekatinya.
Legenda lain menyebut jika ada sebuah wabah yang pernah menyerang wilayah itu pada abad 17.
Untuk mengisolasi diri dari desa, penderita wabah secara sukarela mengkarantina diri dalam dinding pondok di Dargavs dan sabar menunggu nasib.

Mereka dapat bertahan dengan sedikit roti yang dibawa oleh penduduk setempat.
Setelah mereka meninggal, mayatnya akan dibiarkan membusuk di dalam gubuk.