Laporan Wartawan TribunTravel.com, Ambar Purwaningrum
TRIBUNTRAVEL.COM - Saat menyebut tentang Suku Apatani pasti yang langsung terbayang diingatan adalah bentuk hidungnya dan tato wajahnya yang aneh.
Bagian hidung mereka sekilas terlihat seperti ada sebuah tambalan yang membuat mereka terlihat unik.
Banyak yang mengiranya sebagai bagian dari tradisi.
Kenyataannya colokan hidung itu memiliki makna tersendiri.
Dilansir TribunTravel.com dari laman barcroft.tv, Apatani merupakan suku yang bermigrasi dari Arunachal Pradesh, India menuju Distrik Subansiri.

Keberadaan mereka kini banyak berada di Lembah Ziro.
Dikenal akan kemampuannya bercocok tanam, Apatani juga memiliki tradisi lisan yang masih dipegang dan dijalankan sampai sekarang.
Satunya adalah alasan mengapa banyak perempuan dalam suku yang memiliki tato wajah dan colokan besar di hidungnya.
Dikatakan jika perempuan di suku ini dulunya terkenal akan wajahnya yang sangat cantik.

Akibat penampilannya itu, banyak dari mereka yang diculik oleh suku-suku lain.
Untuk menghentikan penculikan itu, para tetua mulai mentato wajah para gadis dan memasukan cocokan hidung saat usia mereka masih sangat muda.
Tujuannya untuk membuat para gadis ini terlihat kurang menarik.
Banyak wanita mengatakan jika tato dan colokan hidung menjadi identitas dari Suku Apatani yang tak dimiliki kelompok lain.
Para wanita yang mengenakan bahkan merasa bangga jika wajah mereka di tato dan hidung mereka diberi colokan.
Ini menandakan jika mereka sebenarnya cantik.

Pemberian tato ini sudah dilakukan sejak gadis Apatani berusia 10 tahun.
Para wanita yang sudah tua biasanya menggunakan lemak babi yang dicampur jelaga dari perapian untuk mulai mentato wajah para gadis.
Motif yang digunakan tergolong sederhana, yakni garis lurus tebal dari dahi menuju ujung hidung dan lima garis lurus di dagu.
Sementara itu, para pria Apatani juga memiliki bentuk tato T kecil di dagu mereka.

Sayang meski sudah menjadi tradisi, namun praktek ini mulai dilarang pemerintah setempat pada awal 1970an.
Tato wajah membuat para wanita sulit mendapatkan pekerjaan saat mereka pergi ke kota besar.
Selain itu, banyak generasi muda yang tak tertarik menjalankan tradisi ini.
Meski demikian masih ada anggota suku yang menjalankannya.