lihat foto
TRIBUNTRAVEL.COM - Berkunjung ke Jogja sudah pasti yang terkenal adalah Malioboro, Pantai dan keraton.
Namun di balik itu semua ada satu lokasi wisata yang patut dicoba.
Adalah jembatan gantung yang terletak di Karanggayam, Pleret Bantul dan Dusun Karet, Pleret Bantul.
Jembatan ini mampu menyajikan pemandangan yang menarik dan cocok untuk wisata kekinian di Yogyakarta.
"Jembatan tersebut menghubungkan dua desa yaitu Desa Karet yang berada di sisi utara dan desa Karanggayam yang berada di sebelah selatan," ujar Supri salah seorang warga sekitar yang bekerja sebagai penambang pasir.
Jembatan gantung tersebut digunakan warga untuk jalur sehari-hari menuju ke kota.
Menurut Supri, jembatan yang dibangun sebelum gempa yang melanda Yogyakarta tahun 2006 silam itu, sangat padat dilalui penduduk pada pagi hari.
"Kalau pagi hari, antrian untuk lewat jembatan ini bisa sangat panjang, para penduduk lewat untuk melakukan aktifitasnya di pagi hari. Mulai dari anak-anak berangkat ke sekolah, hingga orang-orang yang bekerja di kota," kata Supri.
Warga sekitar sering menyebut jembatan gantung tersebut, ialah Jembatan Gantung Karanggayam.
Jembatan yang di cat hijau itu nampak unik dan artisitik, membentang dari utara ke selatan di atas sungi Opak.
Jembatan terbuat dari besi kokoh dengan papan kayu dan sedikit aspal yang dibaut dengan kawat-kawat besi yang menjulang tinggi.
Di sekitar lokasi jembatan tersebut, tenangnya air sungai dan rindangnya pepohonan menjadi daya tarik tersendiri untuk menikmati suasana alami khas pedesaan.
Matahari sore yang menerobos masuk melalui celah pepohonan, seolah lampu spot yang menyinari bagian tengah jembatan dan memendarkan cahaya di permukaan sungai.
Hal tersebut menjadi pemandangan sore yang eksotis di kawasan tersebut.
Mulai pukul 16.30 WIB traveler akan disuguhkan pemandangan yang menarik dan unik.
Penduduk sekitar yang pulang dari ladang melewati jembatan tersebut, dengan membawa hasil dari ladang atau sisa berdagang di pasar mulai Jerami, pakan ternak, dan sayur-mayur.
Aktivitas penduduk sekitar tersebut bisa menjadi target foto human Interest yang apik.
Selain itu, senyum ramah penghuni dusun dan keceriaan anak-anak kecil yang berlari-lari di sepanjang jembatan, membuat tempat tersebut menjadi sangat nyaman.
Sungai Opak yang mengalir tenang di bawah jembatan gantung, menjadi ladang mengais rejeki bagi sebagian penduduk sekitar.
Supri salah seorang penduduk Karanggayam, menggantungkan hidupnya dari sumber daya alam yang ada di sekitar sungai Opak tersebut.
"Kalau pagi sampai siang saya mencari pasir di sungai ini, kadang-kadang saya juga mancing di sini. Ikan di sungai ini besar-besar, apalagi ketika musim kawin, ikan disini pada berkumpul di dekat batu besar itu", kata Supri sambil menunjuk ke arah batuan besar di tengah sungai.
Selain itu getek (perahu) bambu untuk mencari pasir yang terjajar rapi di bantaran sungai Opak tersebut, bisa menjadi transportasi untuk susur sungai.
Jika traveler ingin menaiki getek, syaratnya kamu harus menunggu hingga para penambang pasir selesai bekerja, dan harus ijin dahulu.
"Boleh-boleh saja ketika mau naik getek dan menyusuri sungai, tapi harus hati-hati jangan sampai merusak getek. Yang terpenting harus ijin dahulu agar bisa di dampingi," ujar Supri.
Suasana sungai di sore hari memberi daya tarik tersendiri, suara-suara burung di pepohonan bantaran sungai Opak tersebut menambah nuansa asri di sekitar kawasan tersebut.
Suasana pedesaan di jembatan gantung bisa menjadi spot alternatif untuk menikmati aslinya alam pedesaan.
Untuk menuju ke tempat tersebut, dari arah kota Yogyakarta traveler bisa menuju arah Ring road timur.
Dari Perempatan Ketandan masih lurus ikuti jalur Ringroad menuju ke perempatan Baturetno,dari perempatan tersebut belok ke kiri menuju arah Pleret.
Dari Pleret lurus ikuti jalan hingga ke perempatan Jejeran-Jalan.
Imogiri Timur, belok ke kiri ikuti jalan sampai bertemu sebuah gapura, masuk gapura tersebut dan ikuti jalan beraspal, kamu sudah akan sampai di lokasi jembatan gantung yang menghubungkan dua desa tersebut. (TRIBUN JOGJA/ Gilang Satmaka)
