TRIBUNTRAVEL.COM - Destinasi unik di belahan utara Bali menjadi di antara banyaknya pilihan destinasi yang menarik untuk dikunjungi.
Salah satunya yang sedang digandrungi anak muda, adalah wahana sarang burung di atas pohon di Desa Wanagiri, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali.
Wahana ini sontak menjadi buah bibir, setelah banyak netizen menggungah foto di tengah sarang burung di media sosial seperti instagram.
Puluhan pengunjung mengular dan antre untuk bisa berpose di atas sarang burung tersebut.
I Ketut Ardikayasa, Ketua Kelompok Wisata Alam Air Terjun Cinta kepada Tribun Bali mengatakan, setidaknya ada 50-100 pengunjung per hari.
“Untuk pengunjung lokal kami kenakan biaya tiket Rp 10 ribu, sedangkan wisatawan mancanegara kami kenakan tiket Rp 20 ribu per orang,” sebutnya, Minggu (7/5/2017).

Hari raya atau hari libur, lonjakan pengunjung bisa mencapai 200-250 orang per hari.
Biaya tiket ini, sudah include untuk semua wahana di sana yang dibuka sejak pukul 07.00 Wita hingga 19.00 Wita.
Pria yang juga koordinator wahana ini mengatakan, ide awal pembuatan wahana sarang burung untuk menyesuaikan dengan alam sekitar yang memang masih alami.
“Konsepnya memang dibuat menyatu dengan alam, dan kami menghindari bangunan permanen seperti beton dan sebagainya. Kemudian kalau konstruksi alami ini bisa diubah-ubah dan diganti bentuknya setiap saat,” jelas Ardi, sapaan akrabnya.
Sejak dibangun pada Februari 2017, tempat wisata ini memiliki lima wahana.
Di antaranya sarang burung penjahit tergantung di atas pohon, kupu-kupu yang menghadap hutan, jantung menghadap ke air terjun kembar dan gerbang dengan ulatan bambu.

“Kami juga sedang membuat wahana-wahana baru,” imbuhnya.
Ia pun mengklaim wahana sarang burung ini, pertama kali ada di Bali dan hanya ada di Dusun Asah Panji, Desa Wanagiri, Sukasada, Buleleng.
Terbukti, saat seorang pengunjung bernama Dianti, yang sengaja datang dari Denpasar bersama teman-temannya untuk melihat dan berpose di atas sarang burung.
“Kami lihat di Instagram, lalu kami datang weekend ke sini. Ini unik, karena belum ada di lokasi lainnya,” katanya.
Dianti dan teman-temannya, bergantian menaiki sarang burung dengan tangga bambu.
Masing-masing wahana dijaga penduduk setempat yang berpakaian adat ringan.
Walau pun dibangun tanpa menggunakan jasa arsitek, Ardi mengaku wahana ini aman bagi pengunjung.
Sebab kerangka sarang burung menggunakan besi yang kuat dengan konstruksi rapat, baru setelehnya dilapisi kerangka kayu.
Tali-tali besi direkatkan ke cabang pohon dan ditancapkan ke tanah, sehingga saat dinaiki tetap aman.
“Saya jamin ini dalam lima tahun ke depan masih bagus. Kapasitas di atas bisa menampung sampai 300 kwintal,” ujarnya.
Dibuat bersama anggota kelompok, Ardi dan rekan-rekannya hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk menyelesaikan sarang burung.
Sementara itu, lahan yang digunakan adalah lahan pribadi masyarakat setempat yang disewa oleh kelompok.
Sistem pembayarannya adalah bagi hasil, dengan persentase ke pemilik lahan 30 persen.
Kemudian kontribusi untuk desa adat setempat 10 persen, sisanya untuk kelompok serta disisihkan untuk perbaikan atau pengembangan destinasi baru.
“Kalau yang wahana jantung di air terjun ini baru menghabiskan banyak bambu, setidaknya ada 20 batang bambu besar. Kemudian 100 batang bambu kecil atau bambu tali,” sebutnya.
Ia mengatakan, sejak dibukanya destinasi ini masyarakat setempat bisa ikut bekerja dan mendapatkan penghasilan tambahan dari pekerjaan sehari-harinya sebagai petani maupun buruh tani.
Promosi melalui media sosial, sisanya hanya dari mulut ke mulut.
“Selain anggota kelompok, pedagang setempat juga mendapatkan berkah,” katanya. (Tribun Bali/AA Seri Kusniarti)