Laporan Wartawan TribunTravel.com, Ambar Purwaningrum
TRIBUNTRAVEL.COM - Kebanyakan orang menganggap pedagang kaki lima (PKL) hanya merusak pemandangan jalan.
Keberadaan mereka yang berada di trotoar jalan dianggap mengganggu pengendara yang tengah melintas atau pejalan kaki.
Kenyataannya, keberadaan PKL ini jauh lebih lama dibanding apa yang dipikirkan selama ini.
Tak banyak yang sadar jika pedagang kaki lima ini memiliki sejarah yang panjang.
Bahkan lebih panjang ketimbangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Dilansir TribunTravel.com dari laman komunitashistoria.com menyebutkan jika PKL sudah ada sejak masa pemerintahan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raflles pada 1811.
Saat itu, raffles memerintahkan pemilik gedung yang ada di jalan utama Batavia menyediakan trotoar selebar lima kaki yang diperuntukan bagi pejalan kaki.
Sayang meski dibuat untuk pejalan kaki, tempat itu justru dipenuhi pedagang.
Dan sejak saat itu disebut sebagai pedagang kaki lima.
Tak seperti toko-toko besar, barang yang dijual cukup sederhana, mulai dari obat-obatan, makanan, minuman, dan mainan.
Pedagang kaki lima saat itu awalnya hanya ada di wilayah Medan saja namun kemudian menyebar sampai Jakarta dan wilayah lainnya di Indonesia.
Berbeda dibanding sekarang, PKL pada masa penjajahan belanda biasanya berteriak menawarkan dagangannya kepada pembeli yang lewat.
Keberadaan mereka sempat ditentang Pemerintahan Belanda karena dianggap merusak pemandangan.
Namun mereka seolah tak menggubrisnya.
PKL terus tumbuh dan berkembang hingga setelah kemerdekaan.
Saking banyaknya, pada 1960an, pedagang kaki lima ini dianggap merusak keindahan kota dan membuat malu.
Gubernur Jakarta Ali Sadikin bahkan menindak PKL yang membandel.
Bukan hanya mengusir, Ali juga menyediakan lahan baru bagi mereka untuk bisa tetap berdagang.
Kini mereka terus berkembang dan menjadi bagian dari perdagangan di Indonesia