Breaking News:

Travel Writer

Kenapa Harus Tinggalkan Sarapan "Gratis" yang Disediakan Hotel?

Namun sesekali, relakanlah makanan all you can eat yang seolah-olah gratis itu. Lupakan kepingan sereal yang berkecimpung di semangkuk susu segar.

Penulis: Sinta Agustina
Editor: Sinta Agustina
Istimewa/Iyos Kusuma

Travel Writer: Iyos Kusuma (guratankaki.com)

TRIBUNTRAVEL.COM - Saya sedang berlibur ratusan kilometer dari tempat saya bekerja.

Tidak ada dering telepon dari rekan kerja, tidak terdengar suara atasan saya, lalu tidak ada e-mail yang harus saya baca. Sempurna.

Suatu pagi, saya terbangun di kamar hotel untuk memulai petualangan liburan.

Hal pertama yang saya cari adalah? Makanan. Tentu saja makanan.

“Terima kasih, nomor kamarnya 1709. Ini password internetnya, Pak. Besok breakfast sudah bisa dinikmati mulai pukul 06:30 pagi di restoran,” ya, kalimat itu.

Hidangan itu tidak gratis, tentu saja. Tarif yang dibayar untuk kamar hotel biasanya sudah mencakup biaya untuk sarapan pagi.

Beberapa hotel lebih memilih untuk berkopromi, mereka menawarkan tarif kamar tanpa sarapan ketika saya memesan kamar hotel melalui internet.

Tentu, dengan tarif kamar yang lebih murah.

Perbedaan tarifnya? Man, I don’t pay this much for a buffet breakfast on holiday.

2 dari 4 halaman

Saya sarapan di hotel, terkadang, ketika hotel tidak memberi saya pilihan untuk membayar atau tidak membayar harga sarapan.

Begitu berat meninggalkan hotel tanpa menyentuh menu sarapan yang aromanya menguar sampai ke lobby.

Namun sesekali, relakanlah makanan all you can eat yang seolah-olah gratis itu.

Lupakan kepingan sereal yang berkecimpung di semangkuk susu segar.

Lupakan sosis hangat dan empuk yang biasanya dicolek ke sambal.

Lupakan juga telur dadar bercampur irisan sayur dan jamur yang baru selesai dimasak.

Basuh wajah, bersihkan gigi, dan ayunkan kaki keluar hotel mencicipi menu sarapan ala warga lokal.

Suatu pagi di pengujung 2016, saya berjalan kaki menelusuri Kota Blitar.

Masih sangat sepi. Sejuk masih memeluk hari. Mungkin sekitar pukul tujuh pagi. Tidak banyak kendaraan yang hilir mudik di jalanan.

Suasana pagi seperti menampakkan wajah yang berbeda dari suatu tempat, termasuk Blitar.

3 dari 4 halaman

Suasana tenang, trotoar masih lengang. Tak ada orang buru-buru lalu lalang.

Istimewa/Iyos Kusuma
Istimewa/Iyos Kusuma

Mungkin seperti wajah perempuan yang belum berlapis perona atau gincu ketika mereka bangun pada pagi hari.

Saya berjalan ke arah barat alun-alun dan berhenti di warung nasi bungkus di pinggir pasar. Penjual kaki lima biasa. Tanpa nama.

Hanya menjual nasi bungkus, aneka keripik dan gorengan, lalu minuman seduh.

Bukan penjual makanan yang namanya bisa saya temui di travel blog atau mesin pencari Google.

Di sana, pembeli dan penjual saling sapa, saling lempar kelakar.

Ada seorang ibu yang lahap menyangtap nasi bungkusnya sambil terus berbincang dengan penjual.

Saya tidak paham betul Bahasa Jawa, namun mereka sempat menyapa saya sebelum saya beranjak.

Bagian ini saya mengerti; “Wong kok ganteng-ganteng tenan”. Ah, saya pasti salah dengar.

Secara tidak saya rencanakan, kebiasaan ini sudah sering saya lakukan ketika saya bepergian, bahkan ketika saya pulang ke Bandung.

4 dari 4 halaman

Menikmati pagi dengan tenang tanpa tergesa-gesa untuk sesuap nasi. Menyenangkan.

Bagaimana denganmu? Apakah terkadang rela meninggalkan buffet di hotel dan mencari sarapan di luar?

Selanjutnya
Tags:
BlitarGoogleTribunTravel.com AKBP Argowiyono Samanhudi Anwar Facebook Lite YouTube
BeritaTerkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved