TRIBUNTRAVEL.COM - Tempat produksi Torakur bukanlah seperti pabrik dengan alat-alat yang sudah maju.
Torakur diproduksi tidak jauh dari outlet Torakur Bu Ngesti di Jalan Pangeran Diponegoro Bandungan.
Tepatnya di kediaman sang penemu dan pemilik usaha Torakur Sri Ngestiwati di Dusun Ampel Gading, Desa Kenteng, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang.
Torakur diproduksi di sebuah rumah di samping kediamannya.
Dibantu oleh sejumlah pegawai, Sri Ngestiwati menjelaskan bagaimana produksi Torakur kepada Tribun Jateng, Senin (9/1/2017).
“Pertama setelah tomat segar dipasok, kita seleksi terlebih dahulu. Sudah itu ditusuk-tusuk atau lubangi tomat-tomatnya. Proses penusukkan ini supaya bisa menyerap air karena proses selanjutnya tomat direndam dalam air kapur. Yang dipakai hanya daging dan kulitnya, bijinya kita keluarkan,” jelas Sri Ngestiwati.
Rendaman air kapur berfungsi agar tomat tidak mudah hancur dan bisa menjadi kenyal.
Dalam proses perendaman air kapur menurut wanita yang akrab disapa Bu Ngesti ini bisa memakan waktu lima hingga enam jam.
Selesai proses perendaman tomat kemudian ditiriskan dan dicuci, lalu tomat direbus dengan air gula.
Usai perebusan dengan air gula, ditiriskan dan dijemur.
Proses penjemuran ini dilakukan di rumah-rumah kaca sederhana yang berada di halaman belakang rumah produksi.
Sri ngestiwati mengungkapkan suhu di rumah kaca bisa mencapai 60-70 derajat celcius.
Pada proses inilah warna tomat bisa menjadi seperti buah kurma.
“Proses jemurnya itu yang makan waktu lama. Dijemur dua kali. Yang pertama setelah direbus dengan air gula itu bisa tiga harian. Sudah dijemur tiga hari, baru kita bentuk. Selesai dibentuk, dijemur lagi tapi lebih cepat sekitar dua hari. Jadi total waktu semuanya bisa sampai seminggu produksinya,” ujar Wanita yang juga bekerja di SMP 1 Sumowono sebagai Kepala Tata Usaha ini.
Dalam sehari ia bisa memproduksi kurang lebih dua kwintal tomat. Jumlah ini merupakan hasil seleksi tomat-tomat yang ia dapat dari pemasok.
Sri Ngestiwati mendapatkan tomat dari pemasok di kawasan Bandungan.
Ia mengungkapkan, ia bisa mendapat hingga dua ton tomat dalam sekali pasok.
Meski jumlah tomat yang banyak, dirinya juga mengungkapkan bahwa hasil perbandingan penyusutannya juga tinggi.
“Satu kilo torakur itu hasil dari lima kilogram tomat dan satu kilogram gula. Jadi penyusutannya juga tinggi,” tutur Wanita berusia 55 tahun ini.
Dahulu saat masih merintis usahanya di awal, ia masih menggunakan varitas tomat tertentu untuk produksi Tomakur.
Kini seiring serangkaian hasil riset dan percobaan, ia sudah bisa menggunakan tomat varitas apapun untuk diproduksi sebagai torakur.
Ketika tomat sedang tidak panen, harga-harga tomat melambung cukup tinggi.
Hal ini ia atasi dengan cara menyimpan tomat-tomat terlebih dahulu.
Tomat dibuat hingga setengah jadi baru disimpan.
“Setengah jadi merupakan proses tomat hingga penjemuran yang pertama, belum sampai ke pembentukan. Tomat itu setelah dijemur bisa tahan hingga enam bulanan. Jadi berapapun harga tomat di pasaran, harga torakur tetap stabil,” tutup Sri Ngestiwati. (Magang Tribun Jateng/Maulana Ramadhan)