TRIBUNTRAVEL.COM - Awal 2014, setelah menyelesaikan pendidikan S2 Energy Engineering di Technischen Universitat Berlin, Jerman, Eko Primabudi bisa saja langsung pulang ke Indonesia menggunakan pesawat.
Namun lelaki asli Jambi ini lebih memilih menyisir jalan sutra, sebuah jalan darat yang membentang dari negara Timur Tengah sampai China.
Kecintaannya terhadap sejarah dan peninggalannya, membuat lelaki kelahiran 18 Oktober 1983 betah mendatangi satu persatu negara di jalan bersejarah tersebut selama 129 hari, seorang diri.
Setelah sepuluh hari mengunjungi beberapa kota di Eropa, bungsu putra alm Abdul Aziz dan Sukmawati ini akhirnya sampai di Istanbul, Turki untuk memulai perjalanan daratnya pada 22 Maret 2014.

Istimewa/Eko Primabudi
Dari perjalanan Eko, banyak fakta menarik yang barangkali bermanfaat bagi pelancong yang ingin bepergian ke sejumlah negara.
Bagi Eko, perjalanannya ini tidak sebatas jalan-jalan, namun lebih untuk melihat langsung bukti sejarah, melengkapi wawasan yang ia peroleh sejauh ini.
Berinteraksi dengan orang tak sebatas mencari informasi, namun lebih kepada bertukar informasi sehingga tak sedikit dari mereka yang mengenal Indonesia, mengenal Jambi.
“Awalnya saya pengen jalan-jalan keliling Eropa setelah lulus, tapi setelah saya pikir; ah, kurang keren. Setahun sebelum lulus kuliah kepikiran jalur sutra kayaknya menarik,” ucapnya membuka cerita, ketika Tribun menemuinya di kawasan Telanai Pura.
"Kebetulan saya juga suka sejarah, jadi setahun sebelum lulus sudah saya siapin. Cuma saya nggak pernah bilang ke orang rumah," lanjut Eko.
Hambatan paling utama yang ia antisipasi adalah kondisi negara dan bahasa.
Dari yang ia alami, memang nyaris tidak ada yang bisa berbahasa Inggris sepanjang perjalanan.
Apalagi di Turki, di negara ini, bahkan sulit menemukan mahasiswa yang bisa bahasa Inggris.
Dalam pikirannya, ia bakalan sedikit “aman” bila mengunjungi kampus dan menemui mahasiswa untuk bertanya sesuatu, namun itu diluar dugaannya.
Alhasil hanya bahasa tubuh dan sedikit comotan bahasa setempat yang familiar yang jadi andalannya.
“Saya selalu belajar dari dulu, kalau saya traveling saya pelajari bahasa yang penting saja. Pertama cari bahasa tiap negara yang menyatakan kita tidak bisa bahasa negara tersebut. biar mereka langsung tahu ‘oh, mereka tidak bisa bahasa kita’, jadi mereka cari cara buat nunjukin kita,” ucapnya.
Menurut Eko, kalau berkunjung ke sebuah negara, orang sebaiknya harus tahu bahasa atau istilah tempat penting.
Dua tempat penting yang minimal akan dicari para traveler adalah pusat transportasi dan pusat kota.
Nah, seorang traveler minimal harus tahu istilah kedua tempat tersebut untuk masing-masing negara.

Istimewa/Eko Primabudi
Misal, di Turki terminal disebut otogar, dan pusat kota disebut merkezi.
Dengan minimal tahu istilah, traveler tak harus bertanya detail, cukup hanya mengatakan kata kunci tersebut disertai bahasa tubuh maka biasanya orang akan memberikan informasi.
Selain tantangan bahasa, mengunjungi suatu tempat dalam waktu lama permasalahan penginapan tentu akan menjadi hal yang harus dipikirkan.
Dalam hal ini Eko biasanya mengandalkan bantuan website khusus bagi para pelancong.
“Saya tulis di websitenya, misal “halo saya mau ke Istanbul, siapa mau nampung saya? Nanti ada aja yang komen. Nah, di Turki 99 persen saya pakai itu, di Iran juga. Kalau di Asia Tengah dan China saya di hotel," ucap Eko.
"Kalau di hotel enaknya bebas, dan ketemu pelancong dari berbagai negara. Nginep hotel sudah multiculture. Yang mau kesini tanya kesini, tukar informasi. Disitulah informasi-informasi dari berbagai negara bisa saling terbagi, termasuk ketika mereka bertanya tentang asal saya, Indonesia,” lanjutnya.