Laporan Wartawan Tribun Manado, Alpen Martinus
TRIBUNTRAVEL.COM. TONDANO - Warga Kampung Jawa Tondano memiliki seni, tradisi dan budaya yang berbeda dibanding penduduk Sulawesi Utara lainnya.
Kampung Jawa Tondano adalah kelurahan yang berada di Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Lokasinya di sebelah utara Danau Tondano, berjarak sekitar 40 kilometer arah selatan dari Kota Manado.
Dari Ibukota Provinsi Sulawesi Utara itu dibutuhkan waktu sekitar 60 menit perjalanan menggunakan mobil, atau berjarak 2 km dari kota Tondano.
Kampung ini merupakan permukiman muslim dan keturunan para pejuang yang dulu diasingkan pemerintah kolonial Belanda ke Minahasa.
Nama Kampung Jawa Tondano atau yang populer disebut Kampung Jaton sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Sulawesi Utara.
Sejarah Kampung Jawa Tondano di Sulawesi Utara ini bermula ketika pada tahun 1825-1830 di Pulau Jawa berkecamuk Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa.

Tribun Manado
Salah satu sudut di Kampung Jawa Tondano, Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara
Belanda membutuhkan waktu lima tahun dan mengorbankan ribuan prajurit untuk menghadapi laskar Pangeran Diponegoro.
Segala taktik pun dipakai pemerintah kolonial, termasuk menangkap para pejuang dan mengasingkan mereka ke luar Jawa.
Seorang pejuang yang ditangkap adalah Kyai Modjo pada bulan Juni 1829.
Kyai Modjo adalah pengikut Diponegoro sekaligus penasehat dan ahli strategi Diponegoro.
Setelah ditangkap, Kyai Modjo diasingkan ke tanah Minahasa.
Saat dibawa ke Minahasa, Kyai Modjo tidak hanya sendiri melainkan bersama 63 pengikutnya, termasuk anaknya yang bernama Kyai Ghazali Modjo.
"Saat berada di Tondano, mereka berbaur dengan masyarakat Tondano dan terjadilah kawin-mawin dengan perempuan Tondano," jelas Husnan Kyai Demak, tokoh masyarakat Kampung Jaton kepada Tribun Manado, pertengahan November 2016 lalu.
Meski hampir semua pengikutnya kawin dengan perempuan Tondano, namun tidak dengan Kyai Modjo.
Hanya anaknya saja yang menikah dengan perempuan Minahasa sehingga saat ini ada keluarga yang menggunakan marga Kyai Modjo.

Tribun Manado
Masjid Al-Falah Kyai Modjo di Kampung Jawa Tondano, Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara
Perkawinan yang terjadi menghasilkan keturunan dan terus menerus hingga generasi ke-9 yang ada saat ini.
"Kalau saya generasi ke 5," kata Husnan.
Sekarang Kampung Jawa Tondano sudah menjadi kelurahan sendiri di Minahasa, masuk wilayah Kecamatan Tondano Utara.
Terdapat sekitar 800 kepala keluarga di Kampung Jaton.
Beberapa peninggalan Kyai Modjo atau para pendiri Kampung Jawa di Tondano masih bisa ditemukan.
Satu diantaranya adalah Masjid Al-Falah Kyai Modjo, yang juga dikenal sebagai salah satu tempat penyebaran agama Islam di tanah Minahasa.
Bangunan masjid tersebut awalnya terbuat dari kayu dan papan saja pada saat selesai dibangun sekitar tahun 1862.
"Sempat dipugar tiga kali sampai sekarang sudah beton semua," jelas Husnan.
Beberapa bagian bangunan tetap dipertahankan, seperti misalnya empat tiang penyangga atau soko guru dari kayu cempaka.
Selain itu ada juga kentongan berukuran besar yang digunakan untuk panggilan salat atau penanda salat akan dimulai.
Ada juga kentongan ukuran sedang yang biasanya digunakan untuk menandai ada warga yang meninggal.
Di masjid ini juga terdapat beduk
Barang-barang ini merupakan barang peninggalan sejak masa Kyai Modjo.
Peninggalan lain yang menjadi jejak sejarah berupa kuliner khas Jawa yang dibawa dan diajarkan di lingkungan Kampung Jaton.
Penganan itu antara lain jenang, serundeng, dan sambal goreng.
Beberapa seni budaya Jawa juga menjadi penanda, semisal tradisi midodarini, tarupan, temonan, shalawat dan prosesi saat pernikahan.
Permukiman Tondano ini dipercaya menjadi Kampung Jawa pertama di Minahasa sebelum munculnya kampung serupa lainnya di beberapa daerah wilayah Sulawesi Utara.
Makam Kyai Modjo dan pengikutnya yang keseluruhannya berjumlah 200an makam di Desa Wulauan juga menjadi bukti awalnya Kampung Jaton.
"Ada makam Kyai Modjo, pengikutnya, dan beberapa keturunan mereka juga," jelas Arbo Baderan, juru pelihara makam Kyai Modjo. (*)