TRIBUNTRAVEL.COM - Nama Wakatobi belum begitu populer meski sudah ditetapkan sebagai satu di antara 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016.
Nama kabupaten di Sulawesi Tenggara yang terdiri dari gugusan Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Pulau Tomia, dan Pulau Binongko tersebut masih dianggap asing.
Bahkan, beberapa wisatawan yang diwawancarai Kompas.com mengira Wakatobi merupakan destinasi wisata di negeri Matahari Terbit, Jepang.
"Saya kira Wakatobi ada di Jepang. Karena namanya 'berbau' Jepang. Tak tahunya di Sulawesi Tenggara," ujar Patricia Herjanto saat mengikuti perjalanan Ekowisata yang digagas Synthesis Development bersama WWF Indonesia pada 31 Oktober-4 November 2016.
Wajar jika Patricia belum akrab dengan Wakatobi.
Selama ini, turis domestik seperti Patricia yang asal Jakarta lebih mengenal Bali, Singapura, Jepang, atau kota-kota romantis di belahan benua Eropa.
Wakatobi, kata dia, jarang ditawarkan oleh agen-agen perjalanan sebagai pilihan destinasi wisata selama masa liburan.
Tempat ini juga tidak ditemukan dalam kampanye iklan-iklan pariwisata Indonesia.
Selain itu, Patricia menambahkan, Wakatobi dan destinasi-destinasi wisata Indonesia di luar Bali sangat sulit dijangkau karena aksesibilitas yang terbatas.
"Untuk mencapai Wakatobi, atau pulau-pulau yang disebut surga bahari, kita harus menempuh perjalanan tujuh jam. Tiga jam di udara, dan empat jam di laut," kata perempuan berkulit terang itu.
Tak mengherankan, sulitnya akses dan keterbatasan infrastruktur transportasi itu membuat harga perjalanan wisata ke Wakatobi jauh lebih mahal ketimbang ke Singapura atau Jepang.
Ayu Diyan Hapsari, wisatawan yang juga asal Jakarta, menghitung biaya perjalanannya dari ibu kota ke Wakatobi lebih dari Rp 20 juta pergi-pulang.
"Itu hanya untuk tiket pesawat saja," cetusnya.
Belum lagi biaya menumpang kapal antar-pulau, akomodasi, makan dan minum serta menyaksikan berbagai atraksi budaya dan kegiatan menikmati keindahan bawah laut atau menyelam berikut sewa peralatan selamnya.
Sementara ke Singapura, hanya dengan Rp 5 juta, pelancong Indonesia bisa bermalam selama tiga hari di hotel representatif, keliling Universal Studio, dan belanja suvenir di Orchard Road.
Namun begitu, kendati mahal dan lama di perjalanan, "surga bawah laut" dan pengalaman hidup di Wakatobi yang berbeda dari Jakarta mampu menjadi obat penawar bagi Patricia, Ayu Diyan, dan turis-turis lainnya.
Wakatobi, menurut wisatawan asal Banjarmasin, Muhammad Zakaria Anshori, menawarkan pengalaman berbeda untuk tidak dikatakan istimewa.
Tak ada pasokan listrik yang terus menerus menerangi selama 24 jam, minim koneksi internet, serta air baku bersih layak minum yang terbatas.
Mereka merasa berada di "dunia lain".
Dunia yang bertolak belakang, ibarat langit dan bumi antara kehidupan masyarakat lokal Wakatobi dan kehidupan mereka sehari-hari.
Merasakan hidup selaras dengan alam seperti yang dilakoni warga Wakatobi adalah sesuatu yang mengejutkan, sulit diterima namun nyata.
"Dan kami akan kembali lagi ke Wakatobi," serentak mereka bersuara. (*/Hilda B Alexander)