Laporan Wartawan Surya, Haorrahman
TRIBUNTRAVEL.COM - Masyarakat Suku Osing, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi memiliki tradisi unik, tiap awal Bulan Haji atau Zulhijah.
Mulai dari menjemur kasur pengantin, hingga memotong ayam untuk tumpeng yang dimakan bersama-sama satu kampung.
Tradisi ini dikenal dengan Tumpeng Sewu.
Tahun ini, Tumpeng Sewu jatuh Minggu (4/9/2016).
Menurut Purwanto, Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Desa Adat Nusantara Suku Osing, Tumpeng Sewu digelar tiap minggu pertama Zulhijah.
"Sementara harinya, antara Kamis (malam Jumat) atau Minggu (malam Senin). Dua hari ini, dianggap baik. Tahun ini digelar Minggu," kata Purwanto.
Di hari itu, masyarakat Kemiren melakukan tradisi mepe kasur (jemur kasur).
Masyarakat menjemur kasur secara bersamaan di depan rumah warga.
Di setiap depan rumah penduduk berjajar rapi jemuran kasur.
Warna kasurnya pun unik.
Kasur-kasur yang dijemur itu memiliki warna yang seragam, yaitu berwarna dasar hitam dengan pinggiran merah.
Sesekali, juga terlihat warga yang sedang memukul-mukul kasur yang mereka jemur dengan sapu lidi atau penebah rotan agar bersih.
Kasur-kasur itu merupakan kasur yang dibuat saat pengantin baru.
Di Suku Osing Kemiren, tiap satu keluarga tersebut ada yang hendak menikah dibuatkan kasur warna hitam merah.
Kasur itu nantinya digunakan mulai malam pertama, hingga seterusnya.
Menurut Purwanto, warna hitam memiliki makna langgeng, sedangkan merah memiliki makna kerja keras.
Makna dari kasur itu lebih pada membangun keluarga.
Bagi laki-laki harus bekerja keras, memenuhi kebutuhan keluarga agar rumah tangga bisa langgeng.
Masyarakat Osing meyakini dengan mengeluarkan kasur dari dalam rumah dapat membersihkan diri dari segala penyakit.
Khusus bagi pasangan suami isteri, tradisi ini bisa diartikan terus memberikan kelanggengan.
Setelah kasurnya dijemur, akan empuk kembali, sehingga lebih nyaman dan bisa tidur seperti pengantin baru.
"Hang sun rasakaken, sak bare ngetokaken kasur teko umah, umah katon rumyang lan rijig. Mulo iku awak kroso sehat lan ati adem. (Yang saya rasakan, setelah mengeluarkan kasur dari rumah, rumah terlihat bersih. Karena itu saya merasa sehat dan hati tentram)," kata Serat, warga Kemiren dengan logat Usingnya yang khas.
Warga lainnya, Faiz Fadloli menambahkan tradisi tersebut telah dilakukan turun temurun sejak lama.
"Iki wes dilakoni masyarakat Kemiren mulai bengen tiap tanggal 1 Zulhijah. (Ini sudah dikerjakan masyarakat Kemiren, mulai malam tiap tanggal 1 Zulhijah)," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Adat Kemiren, Suhaimi mengatakan, warga Osing beranggapan, sumber penyakit datangnya dari tempat tidur.
Kasur dianggap sebagai benda yang sangat dekat dengan manusia sehingga wajib dibersihkan agar kotoran yang ada di kasur hilang.
Mereka pun akan terhindar dari segala macam penyakit.
Dijelaskan Suhaimi, kasur berwarna kombinasi hitam dan merah ini, memiliki filosofi yang sarat makna.
Merah memiliki arti berani dan warna hitam diartikan simbol kelanggengan rumah tangga.
"Biasanya tiap pengantin baru dibekali kasur warna ini. Harapan orang tua, agar rumah tangganya langgeng dan tenteram," ujarnya.
Lebih lanjut ia menambahkan, tradisi mepe kasur di kampungnya itu ada aturannya, tidak dilakukan dengan asal-asalan.
"Proses menjemur kasur berlangsung sejak pagi hingga menjelang sore hari," kata Suhaimi.
Begitu matahari terbit, lanjut nya, kasur segera dijemur di depan rumah masing-masing sambil membaca doa dan memercikkan air bunga di halaman.
Tujuannya agar dijauhkan dari bencana dan penyakit.
Setelah matahari melewati kepala alias pada tengah hari, semua kasur harus digulung dan dimasukkan.
Konon jika tidak segera dimasukkan hingga matahari terbenam, kebersihan kasur ini akan hilang dan khasiat untuk menghilangkan penyakit pun tidak akan ada hasilnya.
----------
Untuk mendapatkan informasi terbaru, jangan lupa
Like Fanpage TribunTravel
Follow Twitter @tribuntravel
Follow Instagram tribuntravel