Laporan wartawan Surya, Imam Hidayat/Samsul huda
TRIBUNTRAVEL, PACITAN - Penampilan dr Rosyid Ashari jauh dari kesan anak pantai yang gemar bermain selancar.
Pria 47 tahun ini ketika ditemui di Pantai Pancer hanya mengenakan celana hitam dengan kaos oblong berwarna biru, Sabtu (20/8/2016).
Tak ada yang mengira, dokter yang kini bertugas sebagai Kepala Puskesmas Tegalombo, Pacitan ini berperan penting terhadap perkembangan dunia surfing Pacitan.
Bapak tiga anak ini merupakan orang desa setempat yang pertama kali mengenalkan olahraga selancar ke anak-anak muda di Pantai Pancer.

Surya/Imam Hidayat
Tubuhnya kurus tidak kekar layaknya peselancar lainnya.
Rambutnya pendek rapi dan kulitnya tidak terlalu hitam, pembawaannya juga kalem.
Tapi, siapa sangka lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret itu keranjingan olahroga surfing sejak SMP.
"Surfing bagi saya seperti candu, begitu mencoba sulit untuk lepas," katanya.
Wajar hidup Hari kini tidak bisa lepas dari pantai.
Ia lahir di Desa Tanjungsari, Kecamatan Pacitan, yang jaraknya sekitar dua kilometer dari Pantai Pancer.
Sejak kecil, Hari biasa main ke pantai.
"Kalau ke pantai jalan kaki. Orangtua saya perajin emas, bukan nelayan. Tapi saya biasa main ke pantai," ujarnya.
Ia tertarik bermain surfing sejak kelas 2 SMP kira-kira 1985 silam.

Surya/Imam Hidayat
Ketika itu melihat ada orang bule yang main selancar di Pantai Pancer.
Awalnya, ia hanya melihat-lihat cara orang bule berselancar.
Lalu, ia mencoba mempraktikan sendiri cara bermain surfing.
"Awalnya saya pakai papan kayu untuk berselancar. Kemudian saya dipinjami papan selancar oleh orang bule. Ketika itu saya sudah bisa bahas Inggris sedikit-sedikit. Saya sering jadi pemandu orang bule itu," tambahnya.
Ketika itu, belum ada orang lokal yang bermain surfing dan hanya Hari orang desa satu-satunya yang ikut bermain.
Awalnya, orang desa menganggapnya aneh ketika bermain selancar.
Tapi ia tak peduli dengan anggapan orang.
"Bule yang datang ke sini waktu itu juga masih jarang. Paling satu tahun hanya ada satu dua orang. Bule itu dari Australia," ujarnya.
Tanpa mempedulikan anggapan orang, ia tetap bermain surfing dari awal masuk kuliah hingga sudah lulus menjadi dokter dan sempat bekerja di Puskesmas Mojoroto Kota Kediri.
Ketika bekerja di luar kota, ia jarang-jarang main surfing.
Biasanya, ketika akhir pekan ia menyempatkan berselancar.
Suatu ketika, banyak pemuda desa yang bertanya saat ia hendak bermain surfing di Pantai Pancer.
"Ketika saya bawa papan selancar ke pantai, anak-anak tanya saya dari mana. Mereka tidak tahu kalau saya asli Pacitan. Begitu tahu, mereka minta diajari selancar. Istilahnya belajar bareng-bareng," katanya.
Dari situ, anak-anak desa mulai tertarik bermain surfing.
Hari meminjami papan selancar ke para pemuda desa.
Lambat laun, para pemuda desa itu sudah jago berselancar.
"Malah mereka jauh lebih pandai berselancar dari pada saya. Mereka banyak bergaul dengan peselancar dari daerah lain," ujarnya.

Surya/Imam Hidayat
Kemudian terbentuklah komunitas Pacitan Surf Club (PSC).
Hari didapuk sebagai sesepuh di komunitas itu.
Dengan terbentuknya komunitas, perkembangan surfing di Pantai Pancer semakin pesat.
Berbagai event surfing digelar di pantai tersebut.
Para surfer dari luar juga banyak berdatangan ke Pantai Pancer.
"Ketika itu saya sudah pindah kerja di Pacitan. Saya bisa lebih aktif berkumpul dengan komunitas," katanya.
Sebenarnya, pernah terbesit dari benak Hari untuk berhenti berselancar.
Tapi ternyata ia tetap tidak bisa lepas dari dunia selancar.
"Sebulan tidak ke laut, saya seperti orang stres. Akhirnya kembali selancar lagi. Setelah selancar pikiran kembali fresh," ujarnya.
Sekretaris Pacitan Surf Club (PSC), Khoirul Amin menjelaskan, kecintaan pemuda Pacitan pada olahraga surfing ini semakin besar, sehingga pada tahun 2002 silam dibentuklah Pacitan Surf Club (PSC).
Sekarang anggota PSC sekitar 30 orang.
PSC juga membina anak-anak untuk menjadi seorang surfer.
PSC juga mengajari anak-anak berbahasa Inggris.
"Belajar bahasa Inggrisnya seminggu sekali. Tapi dua bulan ini masih vakum," katanya.
Dia mengatakan, para pemuda di Pacitan yang berusia rata-rata 16 tahun pun bisa menjadi instruktur surfing dan guide.
Mereka juga lebih kreatif dan memiliki pergaulan luas dengan menjadi guide.
"Anak-anak itu kami bina menjadi surfer. Mereka juga kami ajari bahasa Inggris agar bisa berkomunikasi dengan turis asing," katanya.
Ia mengakui anak-anak di kawasan itu rata-rata dari keluarga nelayan dan putus sekolah.
"Mereka boleh sekolah hanya tamat SMP. Tapi mereka tetap harus punya keahlian, yakni, surfing dan bahasa Inggris. Agar mereka tetap bisa menyambung hidup," ujarnya.
Peselancar binaan PSC, Supriyanto 20 tahun mengatakan sudah belajar surfing sejak usia 12 tahun.
Sekarang ia sudah lumayan lihai bermain selancar.
Ia juga menjadi instruktur dan guide bagi peselancar dari luar negeri.
"Sekali menemani peselancar asing biasanya diberi upah Rp 500 ribu," tambahnya.
Ia juga sering ikut kontes surfing.
Ia pernah ikut kontes di Banyuwangi dan Bali.
Jangan salah, pemuda lulusan SMP itu pernah ikut kontes di Australia.
Meski belum pernah menang, ia bangga sudah bisa ikut berlomba surfing di ajang internasional.
"Dengan sering ikut kontes, pengalaman saya semakin bertambah," ujarnya.
PSC juga rutin menggelar even untuk mengangkat nama Pantai Pancer di kancah surfing di tingkat nasional dan internasional.
Terakhir, Agustus 2016 ini, PSC menggelar even tingkat Asia dengan tema Hello Pacitan 2016.
Even itu diikuti peselancar dari Jepang, Argentina, Thailand, Perancis, dan Amerika.
"Kalau peserta lokalnya dari Bali, Jawa Barat, dan Jawa Timur," ujarnya.