Travel Writer : Fatimah Kartini Bohang
TRIBUNTRAVEL.COM - Tana Toraja, Sulawesi Selatan masih memegang teguh adat dan budaya leluhur.
Adalah Kete Kesu, satu di antara daerah yang masih memegang teguh akan tradisi.
Kete Kesu merupakan desa wisata di Tana Toraja yang dikenal karena adat dan kehidupan tradisional masyarakatnya.
Travel writer Fatimah Kartini Bohang akan berbagi cerita saat berkunjung ke Kete Kesu, Kota Rantepao, Toraja Utara.
Ini dia ceritanya.
Dua hari berkunjung ke Tana Toraja cukup membuat saya 'kenyang' melihat tengkorak.
Bukan karena banyaknya jumlah laboratorium biologi di sana, melainkan karena kebudayaan masyarakatnya yang unik dalam memaknai kematian.
Bagi masyarakat Toraja, kematian merupakan ritual terpenting dan termahal.
Proses pemakaman orang yang meninggal dapat berlangsung selama berhari-hari, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun, tergantung kesanggupan keluarga mengumpulkan dana.
Dalam masa itu, jenazah dibungkus kain dan disimpan di Tongkonan (rumah adat Toraja).
Jika dana sudah terkumpul, keluarga segera melaksanakan ritual pemakaman yang memakan waktu selama beberapa hari.
Setelah menjalankan semua ritual, keluarga tidak mengubur jenazah seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Masyarakat Toraja lebih memilih menyimpan jenazah pada batang pohon, batu berukir yang dilubangi, gua-gua, atau tebing.
Satu di antara lokasi penyimpanan jenazah di Toraja yang paling terkenal dan paling tua adalah Kete Kesu.
Saya pun mengunjungi gua tempat penyimpanan jenazah dan terdapat banyak tengkorak dan peti mati di dalamnya.
Konon kabarnya, tengkorak-tengkorak di sana ada yang telah berumur ratusan tahun.
Pada beberapa tengkorak, keluarga sengaja diletakkan atribut-atribut yang mencerminkan kehidupan tengkorak tersebut saat masih hidup.
Hal ini bertujuan agar para pengunjung dapat mengetahui kisah hidup tiap tengkorak.
Tengkorak yang mulutnya dipenuhi rokok menandakan, tengkorak tersebut dulunya adalah seorang perokok dan bahkan meninggal karena rokok.
Ada pula tengkorak yang disampingnya diletakkan salib untuk menandakan, dulunya tengkorak itu adalah seorang pemuka agama.
Bagi tengkorak yang dulunya merupakan seorang guru, keluarga meletakkan buku-buku pelajaran di sekitar tengkorak tersebut.
Mengunjungi gua pemakaman di Kete Kesu kembali mengingatkan saya akan kematian.
Bahwa hidup dan mati adalah fase yang pasti dilalui tiap makhluk ciptaan Tuhan.
Manusia hanya punya waktu singkat untuk hidup di bumi dan pada akhirnya akan jadi tengkorak yang berbentuk sama.
Karena raga bisa mati, tapi nama dan karya akan terus hidup.
Cerita lengkapnya bisa kamu simak di sini.