Akses berita terupdate se-indonesia lewat aplikasi TRIBUNnews

Mengenal Likuifaksi, Fenomena Tanah Bergerak di Kota Palu dan Cara Mengantisipasinya

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Lumpur yang keluar dari perut bumi pasca-gempa bermagnitudo 7,4 menenggelamkan rumah-rumah di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Likuifaksi dapat terjadi jika terdapat material lepas berupa pasir dan lanau yang berada di bawah muka air tanah yang memungkinkan ruang pori antar butir terisi air.

Update Gempa dan Tsunami di Palu dan Donggala 3 Oktober 2018, Pengungsi Capai 70.821

Tanah yang terlikuifaksi tidak dapat menahan berat beban di atasnya, baik itu lapisan batuan maupun bangunan.

Hal inilah yang mengakibatkan hilangnya kekuatan pondasi bangunan.

ESDM pun sudah melakukan penelitian terkait likuifaksi di beberapa tempat, termasuk Sulawesi Tengah.

Sebagian wilayah Indonesia yang berada di daerah Cincin Api Pasifik memungkinkan terjadinya likuifaksi.

Ancaman kerusakan bangunan akibat likuifaksi bisa jadi lebih parah dari tsunami.

Dijelaskan oleh Rifai Mardin, dosen teknik arsitektur di Universitas Tadulako, Palu, "bangunan yang hancur kebanyakan karena tsunami dan likuifaksi."

Rifai menjelaskan, ada sejumlah tindakan yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi dampak buruk likuifaksi, misalnya meminimalisir penggunaan lahan permukiman di kawasan-kawasan rawan.

"Kalau sudah mengenal potensi bencananya, harus melakukan antisipasi di perencanaan," tutur dia.

Sebenarnya studi mengenai likuifaksi pernah dilakukan oleh Pemerintah Kota Palu.

Namun hasil studi ini belum sempat disosialisasikan kepada masyarakat.

Indonesia pun bisa belajar dari negara lain, misalnya Jepang dalam menghadapi kemungkinan terjadinya likuifaksi terkait pemetaan rencana tata ruang kota.

Di Jepang, likuifaksi pernah terjadi saat gempa tahun 1964 mengguncang Nigata dan gempa tahun 1995 di Hanshin.

TribunTravel.com/rizkytyas