Pada foto terlihat gadis-gadis cantik memetik apel kemerahan dari pohon, pemandangan desa yang indah, dan pemandangan kota yang modern.
Namun begitu naik ke kapal, mereka diawasi oleh tentara Soviet, dan keraguan mulai muncul.
"Makanannya mengerikan, dan apel-apel merah itu, semua tampak begitu layu," katanya.
Kemudian, ketika kapal mendekati pelabuhan, mereka menyadari bahwa telah membuat kesalahan besar.
Sakakibara dan keluarganya disapa dengan kota 'abu-'abu', miskin, dan di dermaga penuh orang-orang kekurangan gizi dan lusuh.
• Warga Korea Utara Gemari Produk Indonesia, Segini Harga Sampo hingga Deterjen di Sana
Semua orang dewasa mengenakan pakaian abu-abu gelap dengan model dan warna yang sama.
Beberapa anak-anak kecil terlihat tak memakai alas kaki bahkan tanpa celana.
Sakakibara yang pada saat itu berusia 11 tahun menyesal karena pemandangan yang ia lihat berbeda dengan apa yang ia bayangkan sebagai 'surga'.
Disekelilingnya, orang-orang merasakan hal yang sama dengan yang ia rasakan.
"Kami diberitahu bahwa ini adalah surga, tapi ternyata bukan," kata Hiroko Saito, seorang wanita Jepang yang datang bersama suaminya yang merupakan etnis Korea dan anaknya yang masih berusia satu tahun.
Semua orang menangis dan bertanya-tanya, "bisakah saya pergi dari sini dan kembali ke rumah?"
Janji hidup bebas, mendapat pekerjaan dan hidup layak itu semua bohong.
Banyak dari mereka berakhir di kamp penjara dan keluarganya dalam tuntutan hukum yang kejam.
• Korea Utara Tiba-tiba Larang Wisatawan Berkunjung ke Negaranya Hingga September, Apa Sebabnya?
Ada juga yang meninggal karena kekurangan gizi dan penyakit.
Ayah Sakikibara dulunya adalah pekerja konstruksi di Jepang.