TRIBUNTRAVEL.COM - Minggu (30/9/2018) hari ini, tepat 53 tahun berlalu setelah peristiwa G30S/PKI terjadi. Namun, ternyata ada satu petinggi TNI AD yang lolos dari target penculikan.
Minggu (30/9/2018) hari ini, tepat 53 tahun berlalu setelah peristiwa G30S/PKI terjadi.
Ada tujuh nama petinggi TNI AD yang jadi target kebiadaban tragedi G30S/PKI dan disebut sebagai Pahlawan Revolusi.
Yakni, Jenderal AH Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayjen Soewondo Parman, Mayjen R Soeprapto, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono, Brigjen Donald Izacus Pandjaitan, dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo.
Namun, sebenarnya jumlah jenderal yang rencananya dijemput pada 30 September 1965 ada delapan nama, mengutip laman intisari.grid.id.
Kedelapan nama ini ditaklimatkan dalam pertemuan terakhir untuk operasi penculikan Dewan Jenderal yang diadakan di rumah Sjam Kamaruzzaman.
Selain tujuh yang telah disebut di atas, satu nama yang tersisa adalah Brigjen Ahmad Soekendro.
Tidak seperti tujuh petinggi TNI AD lain yang menjadi korban, Brigjen Ahmad Soekendro berhasil selamat dari penculikan.
Lalu, siapakah sebenarnya Brigjen Ahmad Soekendro?
Brigjen Ahmad Sukendro dilahirkan di Banyumas tahun 1923.
Seperti banyak anak muda seusianya, di zaman Jepang, ia memilih mendaftar menjadi anggota PETA.
Saat revolusi, Ahmad Soekendro pun bergabung dengan Divisi Siliwangi.
Karena kemampuannya yang tak biasa, Ahmad Soekendro pun ditemukan oleh AH Nasution.
Sebab, cara berpikir dan kemampuan analisis Soekendro di atas rata-rata perwira lainnya.
Saat AH Nasution menjadi KSAD, ia menarik Ahmad Soekendro sebagai Asintel I KSAD.
Performa kerja Ahmad Soekendro pun tak mengecewakan.
Pada 1957, saat perwira-perwira daerah resah dengan kebijakan Jakarta dan berniat menuntut opsi otonomi, Ahmad Soekendro pun menggelar operasi intelijen.
Tentu, operasi intelijen ini digelar atas perintah AH Nasution.
Orang-orang Sukendro masuk ke daerah dan menginfiltrasi pola pikir para perwira di daerah.
Hasilnya, saat suasana memuncak, praktis hanya komandan di Sumatra (PRRI) dan Sulut (Permesta) yang menyatakan diri berpisah dari Indonesia.
Lainnya menarik dukungan dan tetap berada di bawah naungan Merah Putih.
Kiprah Ahmad Soekendro pun tidak hanya terbatas pada lingkup nasional.
Seiring dengan tugas belajar yang diperolehnya di Amerika Serikat (AS), ia juga sukses menjalin kontak dengan CIA.
Beberapa program kerjasama TNI dan CIA, terbentuk lewat tangannya.
Sampai-sampai ada anggapan pada masa itu, sosok Soekendro-lah temali utama yang menghubungkan Nasution dan juga Achmad Yani dengan CIA.
Dalam satu dari beberapa versi skenario Gestok, berkat kecerdasan dan lobi baiknya dengan CIA, Ahmad Soekendro disebut-sebut sebagai satu orang yang layak dicurigai sebagai dalang.
Ini disebutkan dalam buku Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto karangan FX. Baskara Tulus Wardaya.
Jika sempat dianggap sebagai dalang, lalu kenapa Ahmad Soekendro malah masuk daftar target PKI?
Soekendro ternyata termasuk sosok penting di tubuh militer.
Namanya masuk dalam grup jenderal elite yang dekat dengan AH Nasution maupun Ahmad Yani.
Belakangan grup jenderal elite ini dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Jumlah anggotanya 25 orang, tetapi empat penggerak utamanya adalah Mayjen S Parman, Mayjen MT Haryono, Brigjen Sutoyo Siswomihardjo, dan Brigjen Ahmad Soekendro.
Grup ini aktif melakukan counter politik untuk menandingi dominasi PKI.
Peran penting Ahmad Soekendro inilah yang membuat PKI geram.
PKI menganggap Ahmad Soekendro sebagai bahaya laten.
Ketika peristiwa G30S/PKI dilancarkan, Brigjen Ahmad Soekendro diperintahkan oleh Soekarno untuk menjadi delegasi Indonesia untuk peringatan hari kelahiran Republik China pada 1 Oktober 1965.
Sehingga, dia selamat dari korban penculikan.
Selepas peristiwa itu, peran Brigjen Ahmad Soekendro mulai tersisih oleh kiprah Ali Moertopo.
Ia tidak bisa membendung jaring-jaring intelijen Ali yang kemudian mempercepat keruntuhan Soekarno.
Namun, Ahmad Soekendro masih mencoba berupaya mempertahankan kekuasaan Soekarno.
Apa yang disebut mantan Dubes Kuba dan teman dekat Soekarno, AM Hanafi, dalam biografinya memperlihatkan upaya Ahmad Soekendro.
Pada 11 Maret 1966, Presiden diikuti para waperdam yang tergopoh-gopoh menuju Bogor karena takut dengan Pasukan Kemal Idris.
Brigjen Ahmad Soekendro menyarankan AM Hanafi untuk mengejar presiden dan terus menempel padanya di mana pun juga Soekarno berada.
“Jangan tinggalkan Bapak sendirian,” kata Brigjen Ahmad Sukendro.
Sepertinya insting intelijen Brigjen Ahmad Soekendro masih cukup tajam untuk membaca arah zaman.
Sayang, AM Hanafi tak bisa melakukan perintahnya karena tak kebagian helikopter pada hari itu.
Petang itu juga juga utusan Soeharto berhasil mendapatkan surat penyerahan kekuasaan (Supersemar).
Ketika Soeharto naik ke puncak kekuasaan, bintang Ahmad Soekendro praktis redup.
Namun meski tenggelam ia tak lantas terdiam.
Dalam sebuah kursus perwira di Bandung, secara mengejutkan ia mengakui keberadaan Dewan Jenderal.
Akibatnya, Soeharto, lewat tangan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, menggiring Brigjen Ahmad Sukendro ke sel RTM Nirbaya Cimahi selama 9 bulan.
Tentunya tanpa pengadilan.
Lepas dari tahanan, Ahmad Soekendro ditampung Gubernur Jateng, Supardjo Rustam.
Ia diberi kepercayaan mengelola perusahaan daerah Jateng.
Meski demikian, radar Soemitro tak serta merta mendepaknya.
Setiap kali terdengar ada gerakan antipemerintah, Ahmad Soekendro adalah orang pertama yang didatangi Soemitro.
“Tidak ada orang intelijen yang lebih hebat daripada dia. Karena itu saya selalu mencurigainya,” kata Mitro.
Artikel ini telah tayang di intisari.grid.id dengan judul "Seharusnya Ada 8 Jenderal yang Akan Diculik G30S PKI, Kenapa Akhirnya Hanya 7?"
(TribunTravel.com/Rizki A. Tiara)