TRIBUNTRAVEL.COM - Beberapa tahun belakangan, masyarakat kelas menengah di perkotaan tengah gandrung dengan superfood atau bahan makanan yang memiliki kekayaan nutrisi lebih padat dibanding jenis makanan lainnya.
Selain itu, superfood terkenal karena disebut memiliki kandungan yang dinilai memperlambat penuaan dan dapat membantu menurunkan berat badan.
Seperti namanya, superfood merupakan makanan yang marak dari negeri manca dan menggunakan bahan impor, mulai dari hia seed, blueberry, kiwi, kale, hingga quinoa.
Selain rasa yang menarik, superfood juga memiliki tampilan cantik bila difoto dan diunggah di sosial media.
Hal inilah yang menjadikan superfood menjadi makanan idaman sejumlah masyarakat usia produktif kelas menengah.
Menanggapi populernya panganan tersebut dan dianggap lebih bergizi dibanding panganan lainnya, Universitas Ngudi Waluyo (UNW) mengadakan seminar bertema 'Enabling Enterpreneurship in Nutrition by Using Local Food in Millenials' di Aula UNW pada Senin (22/4/2019) pagi.
Seminar ini menghadirkan Purbowati, S.Gz., M.Gizi selaku dosen Program Studi Gizi UNW, Dinas Ketahanan Pangan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Ir Krisnawati Ekananta Oetoyo MP selaku Kasi Promosi Penganekaragaman Konsumsi Pangan, dan Ayu Nova, S.Gz selaku Owner Fitpedia and Healthy Diet dari Jakarta.
Menurut Purbowati, pangan lokal kerap dipandang sebelah mata karena datangnya beragam bahan pangan impor. Bahkan superfood yang merujuk pada bahan makanan impor justru menjadi tren di kalangan warga Indonesia.
"Padahal kandungan gizi makanan lokal tidak kalah dengan makanan impor loh," ujarnya saat menyampaikan gagasannya di hadapan seratusan peserta seminar.
Purbowati menambahkan, erdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012, pengertian pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
“Dalam mengonsumsi makan sehari-hari seharusnya berkesuaian Bergizi, Beragam, Seimbang, Aman (B2SA). Pangan B2SA di antaranya, aneka ragam pangan sumber karbohidrat, protein, maupun vitamin dan mineral, yang bila dikonsumsi dalam jumlah seimbang dapat memenuhi kecukupan gizi yang dianjurkan serta tidak tercemar bahan berbahaya yang merugikan kesehatan,” paparnya.
Sedangkan menu yang disiapkan, menu ideal yang dikonsumsi untuk sekali makan atau beberapa kali waktu makan. Makanan tersebut dapat dikonsumsi dalam sehari menurut waktu makan, yakni pagi, siang, dan sore atau malam hari.
Dalam menyusun menu olahan bisa dengan mengonsumsi makanan pengganti beras, seperti ubi kayu atau singkong, ubi jalar, jagung, maupun sagu. Menurutnya, dibanding tepung terigu, singkong lebih sedikit lemak dan lebih banyak serat. Singkong memiliki nilai farmakologis yang harus dihargai di atas beberapa makanan nabati karbohidrat.
“Kalau kita tahu gatot, panganan berbahan singkong berdasarkan hasil penelitian merupakan prebiotik. Jadi, bila mengonsumsi gatot bermanfaat menjaga kesehatan usus. Begitu juga dengan ubi ungu, khasiatnya bisa menurunkan kolesterol,” terang Purbowati.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Panitia Seminar, Dyah Kartika Wening mengatakan seminar ini diadakan untuk menjawab tantangan pemberdayaan potensi makanan lokal. Pasalnya, bahan pangan lokal Indonesia cukup banyak jumlah dan jenisnya.
Namun belum dikelola secara optimal oleh masyarakat. Bahkan, ada banyak produksi tanaman bergizi yang masyarakat belum tahu cara mengelolanya.
“Melalui seminar ini kita berupaya mengenalkan masyarakat terhadap potensi makanan lokal Indonesia. Jika dikelola dengan baik dapat sebagai alternatif pangan keluarga. Selain itu, dapat juga dikembangkan sebagai pendapatan tambahan di rumah,” ujarnya.
Dyah menyebutkan, nilai gizi bahan pangan dalam negeri justru lebih baik dibandingkan bahan pangan dari luar negeri. Selain diambil langsung dari lahan sendiri saat masih segar, kandungan gizinya juga tidak kalah tinggi.
Yang diperlukan dalam pengembangan dan pemenfaatannya ialah penerapan kreativitas dalam pengolahan dan pengemasan agar makanan berbahan pangan lokal lebih menarik dan disukai konsumen
“Selama ini potensi makanan dalam negeri kurang dikenal mayarakat karena kurang promosi, di samping diversifikasi produk yang dihasilkan kurang maksimal. Permasalahan seperti bentuk kemasan yang kurang menarik atau olahan yang dibuat kurang disukai masyarakat,” jelas Dosen Program Studi Gizi UNW.
Ir Krisnawati Ekananta Oetoyo dalam pemaparan materi mengatakan, Pemprov Jateng selama ini terus-menerus melakukan promosi potensi makanan lokal kepada masyarakat melalui pameran dan lomba produksi pangan yang diikuti peserta dari tingkat kecamatan, kabupaten atau kota, hingga tingkat provinsi.
“Tujuan kami mengenalkan kepada masyarakat sekaligus mengajak para pengelola pangan agar terus berkreasi untuk penganekaragaman pangan. Kami tidak menginginkan jika pameran dan lomba hanya sekedar kegiatan seremonial saja, tanpa mendatangkan imbas yang baik buat masyarakat,” ujarnya.
Krisnawati berharap lomba yang diselenggarakan itu dapat meningkatkan kreativitas masyarakat untuk dapat mengelola pangan lokal yang bercita rasa global yang tentunya dapat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
“Kami berharap pangan lokal yang ada ini harus dikelola baik, dikemas, baik dan tentu harus punya nilai jual yang pastinya akan mendongkrak ekonomi masyarakat,” harapnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Benarkah Superfood Berbahan Impor Lebih Bergizi Dibanding Makanan Lokal? Ini Kata Pakar